Laporan OJK : Utang Paylater Warga RI TeMBUS 30 Triliun Pertahun 2024 Kemarin

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total utang masyarakat Indonesia di layanan paylater mencapai Rp30 triliun per November 2024. Angka itu meningkat dari bulan sebelumnya mencapai Rp29 triliun.

Total utang tersebut tersebar di industri perbankan dan industri multifinance yang menyediakan layanan buy now pay later (BNPL).

Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM dan LJK Lainnya (PVML) OJK Agusman melaporkan kredit paylater melalui perusahaan pembiayaan atau multifinance mencapai Rp8,59 triliun pada periode yang sama.

Angka tersebut tumbuh sebesar 61,90 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Di sisi lain, ia mencatat pembiayaan bermasalah paylater yang tercermin dari NPF (Non Performing Financing) tercatat sebesar 2,92 persen (gross) dan NPF Nett sebesar 0,81 persen.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan tumpukan utang paylater masyarakat berisiko tinggi terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang. Pasalnya, utang paylater sebagian besar bersifat konsumtif dan rata-rata jumlahnya di atas kemampuan membayar. Jika terjadi gagal bayar, sambung Bhima, maka akan mempengaruhi penyaluran kredit yang lebih produktif seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor.

Analisa Hukum Utang Piutang Paylater

Fasilitas PayLater ini diatur dalam pasal 1 No.3 Peraturan (PJOK) No: 77/POJK.1/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Didukung dengan syarat dan ketentuan lain yang berlaku, misal terkait sanksi jika user belum memenuhi atau membayar tagihan, maka akun e-commerce nya dapat dibekukan dan pengguna tidak dapat melakukan pembelian menggunakan fitur PayLater lagi.

Mengacu pada syariat Islam, hakikatnya aktivitas pinjam-meminjam atau utang piutang merupakan bentuk akad tabarru’, yaitu bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan hanya untuk tujuan komersial atau sumbangan.

Sementara itu, seluruh aktivitas layanan pinjaman, baik offline maupun online, hukumnya menjadi halal apabila dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sebagai muslim, alangkah lebih baik jika kita mampu meminjamkan uang kepada orang yang benar-benar membutuhkan agar mereka tidak terjerat pinjaman online.

syariat Islam telah menegaskan kepada umatnya terkait larangan transaksi jual beli dan utang piutang yang didalamnya mengandung riba. Larangan ini salah satunya termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275,

“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”

Berdasarkan Ijtima Ulama Tahun 2021, Komisi Fatwa MUI telah memutuskan bahwa pinjaman yang berbasis riba hukumnya haram.

Menurut Pasal 1338 Ayat (3) KUHP, setiap individu diberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun tentang
apapun, selama mematuhi syarat-syarat yang berlaku dan mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Namun, kebebasan ini juga dapat membawa dampak negatif terhadap konsumen, sehingga perlu ada pembatasan untuk melindungi kepentingan konsumen. Meskipun demikian, E-commerce juga memiliki dampak positif karena dapat meningkatkan efisiensi dalam transaksi jual beli serta menciptakan peluang usaha baru, seperti menjadi pengantar barang dari penjual ke pembeli melalui platform daring.

Pasal 1335 dan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menginterpretasikan klausa yang halal dalam konteks yang bertentangan. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat atas alasan yang tidak benar atau terlarang, tidak memiliki kekuatan hukum.

Di sisi lain, Pasal 1337 KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu alasan dianggap terlarang jika bertentangan dengan undang-undang atau dengan norma-norma moral dan ketertiban umum.

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kontrak elektronik merujuk pada kesepakatan antara pihak-pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Dalam suatu E-Contract, minimal harus mencakup hal-hal berikut: (a) identitas semua pihak yang terlibat, (b) deskripsi dan spesifikasi objek perjanjian, (c) syarat-syarat untuk transaksi elektronik, (d) rincian harga dan biaya yang terkait, (e) prosedur yang harus diikuti jika terjadi pembatalan oleh salah satu pihak, (f) ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang merasa dirugikan untuk mengembalikan barang atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi dan (g) opsi mengenai hukum yang berlaku dalam penyelesaian transaksi elektronik.

Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019. Tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.

Terakhir untuk faktor kehalalan atau tidaknya terhadap sistem utang piutang dalam paylater ini diperkuat dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa syarat sah dari suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights